Jumat, 16 Maret 2018

TULISAN HILANG, PERADABAN MELAYANG

TULISAN HILANG, PERADABAN MELAYANG
oleh : Hammam Al Marisma
Pergolakan bahkan perdebatan seringkali terjadi dalam dunia kesusasteraan, banyak orang tidak mengetahui bahwa sastra merupakan bagian dari sejarah yang terlupakan. Indonesia merupakan salah satu negara yang terbilang masih bungkam akan perkembangan sastra. Dunia sastra adalah dunia yang membutuhkan kejujuran dalam setiap rangkaian-rangkaian kata-katanya. Menyangkut kembali relasi antara sastra dengan sejarah bangsa, sejak Pra kemerdekaan banyak sastrawan pribumi yang memiliki kualitas kognitif dan emosional kritis, mengkritik bangsa ini melalui setiap bait-bait kalimat mendalamnya.
Kalimat-kalimat sadis tersebut seperti hendak membunuh setiap perlakuan, kelakuan bahkan tingkah laku pada masanya. Teks dalam aneka tulisan tersebut melahirkan paradigma di setiap lapisan masyarakat. Tulisan dapat mengubah segalanya, melalui karya goresan dan pemikiran sang penyair, penulis bahkan sastrawan membuktikan kepada dunia. Dengan sastra dunia menjadi hidup. Sastra berbicara dalam keadaan diam, namun bergerak tanpa perpindahan. 
Perumpamaan yang sangat ambigu bertumpuk-tumpuk bahkan tak masuk akal dan logika. Sastra tidak tampak jika seseorang tidak mendalaminya, dunia sastra adalah dunia yang penuh akan pemahaman. Apabila kita belajar bersumber pada filsafat untuk mengetahui dan mengkaji semua ilmu pengetahuan di muka bumi ini dalam proses mencari jati diri, kita akan menemukan siapa diri ini sebenarnya. Dan melalui filsafat kita akan menemukannya, kendati dengan sastra bukan hanya kita dapat memahami diri sendiri melainkan keadaan orang lain secara utuh kita memahaminya.
membahas sastra sepertinya tak ayal kita akan mengenal berbagai karya seperti, novel, puisi, sajak, cerpen dan lain-lain. Sastra berkembang dan selalu mengalami perubahan sesuai dengan zamannya, dimana dipengaruhi oleh pemikiran yang dominan serta dampak yang ditimbulkan kepada masyarakat pada zaman itu. 
Saya ambil contoh saja, sastrawan Indonesia angkatan 45 seperti Chairil Anwar dengan puisi ”Aku” menceritakan keadaan dimana sosok seseorang yang terpuruk pada masa itu, di negeri sendiri tetapi menjadi budak dengan jajahan negeri asing. Pada angkatan 45 para sastrawan mencurahkan kritik serta keluh kesah dengan puisi-puisi penentang. Belum lagi, pada masa angkatan 66 dimana sekumpulan sastrawan masa ini membentuk dan menerapkan apa yang dicita-citakan oleh Soekarno mendukung perkembangan sastra. Puisi tentang keadilan dan kebenaran  menjadi bahan utama pada setiap ide-idenya.
Tulisan-tulisan yang tertuang dalam karya sastrawan mendeskripsikan moral-moral bahkan perilaku-perilaku manusia terhadap dunia. Sastra bercerita tentang sang penulis dan mengungkapkan yang dilihat sang penulis. Jelas sekali, moral-moral yang terjadi dapat terlihat. Tanpa sedikitpun meleset puisi-puisi pemberontakan memang benar adanya sesuai dengan kehidupan. Alasan terbesarnya adalah ada makna di balik kata. Pemaknaan juga menjadi prioritas utama sebuah karya, karena karya tersebut diterbitkan atau dibuat pasti memiliki tujuan dan maksud tertentu. Tulisan memang memberikan pengaruh yang besar terhadap peradaban suatu tempat ataupun negara. Karena dengan tulisan suatu rekaman yang dapat diwariskan kepada setiap generasi-generasi mendatang. Kita dapat melihat sebuah negara peradaban terbesar di dunia, dimana arsip-arsip ilmu pengetahuan terkumpul di sana dan menjadi sumber setiap negara untuk mempelajarinya. Yunani, siapa yang tidak kenal dengan para filsuf Yunani, sebut saja Aristoteles, Plato, Socrates. Mereka tumbuh di negara peradaban yang mana telah menyusun rapih dan mendokumentasikan setiap karya para fisafat terdahulu untuk menjadikannya cikal bakal ilmu pengetahuan.
Melirik dan menelisik kembali di Indonesia, bagaimana kita dapat mengetahui adanya Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan prajurit Gajamada, dimana ia memiliki cita-cita besar untuk menyatukan nusantara, bagaimana kita dapat mengenal ada sebuah kerajaan Islam di sebuah tempat yang sampai sekarang masih mendapatkan julukan Serambi Mekkah? dan bagaimana kita dapat mengerti bahwa Indonesia pernah menjadi pusat pembelajaran ilmu pengetahuan yang besar melalui Kerajaan Sriwijaya? yang mana pada masa itu terkenal sebagai kerajaan Budha terbesar. Melalui karya-karya tulisan yang pernah terabadikan di masa lalu, juga melalui prasasti dan kitab-kitab tertulis yang ditemukan, kita dapat mengenal, mengetahui dan mengerti bahwa Indonesia memiliki sebuah peradaban yang sudah terbentuk sejak dahulu kala.
Karya-karya di atas berkorelasi satu sama lain dalam sebuah tulisan, dan  tulisan menceritakan bagaimana proses dan perkembangannya.  Melalui sebuah tulisan masyarakat tidak buta terhadap sejarah bangsanya. Kita mengenal tulisan saat mengenyam pendidikan dasar sekali, dengan tulisan segala sesuatu dapat dipahami, kita dapat mengeja, membaca, dan berbicara dengan baik. Menulis menguji setiap syaraf otak kita bergerak. Karena pada saat kita menulis, semua syaraf kita bekerja dan tidak mati, dimulai saat kita berfikir tentang ide apa yang akan kita tulis, menggerakan jari-jari kita, mengolah ingatan kita dan dituangkan kembali kedalam tulisan.
Dan pertanyaan penuh tanda tanya, bagaimana perkembangan sastra sekarang? Terutama di negeri kita, apakah ada sastrawan terkenal dan sekritis seperti Chairil Anwar dan W.S rendra? Apakah ada sastra perempuan yang melahirkan kata-kata kejujuran seperti Toeti Herarty, melalui puisi-puisi nya ia menyampaikan sebuah kejujuran sebagai seorang perempuan. Apakah ada penulis perempuan seperti Kartini dengan buku “Habislah Gelap Terbitlah Terang”? Jawabannya adalah pikiran yang melintas di kepala kita.  Kita amati dunia ini, sastra mulai meredup. Hanya segelintir orang yang mengabadikan keluh kesahnya melalui tulisan. Hanya sedikit orang yang dapat membaca keluh kesahnya sendiri.
Budaya menulis telah sepi dalam kesemrawutan kampus, dan budaya membaca telah hening dalam kebisingan suara kendaraan yang memenuhi parkiran, sampai tak ada  lagi lahan untuk berjalan kaki karena disesaki kendaraan. Karena menulis tak lagi menjadi budaya, dan sentuhan terhadap layar yang membuat kita menunduk setiap harinya menjadi budaya baru. Posting foto terbaru dan update kata-kata di media sosial, menjadi tren baru yang lebih diminati pemuda-pemudi.
Terdiam lirih, menanggapi setiap perubahan dan mulai menghilangkan peradaban di dunia yang serba canggih ini. Mungkin saja beberapa puluh tahun yang akan datang, kita akan kembali lagi pada masa dimana belum mengenal tulisan dan memulai kembali peradaban. Karena tiadanya sastra sebagai bukti sejarah untuk peradaban. Tidak adanya sastra akan melahirkan tidak adanya tulisan dan beranak pada tidak adanya peradaban, karena tidak adanya peradaban, maka menghilanglah dunia!
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar