Senin, 22 Januari 2018

Ibuku memiliki satu mata

 

Aku tinggal di sebuah kota kecil bersama Ibuku, seorang Ibu yang hanya memiliki satu bola mata, sedang yang satunya aku tidak tahu kenapa dan aku memang tidak mau tahu karena aku begitu benci dengan pemandangan seperti itu, sungguh tidak layak dipandang dan membuatku malu, pikirku.
                              
Untuk memenuhi kebutuhan harian kami, Dia (Ibu-ku) bekerja sebagai juru masak di sekolah tempat aku belajar.Suatu hari (di sekolah), ia datang menghampiriku untuk menghabiskan jam istirahatnya bersamaku. Akupun mengatakan padanya

“Ibu, mengapa Ibu kemari? aku malu dengan teman-temanku bu, aku tidak ingin mereka tahu kalau aku mempunyai Ibu bermata satu.”

Dia (Ibu) hanya diam dan pura-pura tidak mendengar perkataanku, akupun memelototinya dengan penuh rasa kebencian.Keesokan harinya, beberapa teman dekat-ku mengejekku dengan mengatakan

“Ibu kamu punya satu mata satu”

mereka terus mengatakan hal yg sama hingga aku merasa malu dan ingin rasanya bersembunyi di tempat yg tidak diketahui siapapun, sempat juga terfikir oleh-ku untuk menghindar jauh dari ibuku.

“Kenapa tidak?” Pikirku.

Sejak saat itu akupun belajar dengan keras dan sungguh-sungguh untukmendapatkan peluang beasiswa ke Singapura, dan akhirnya akupun mendapatkannya.akhirnya aku bisa menghilang dari hadapan ibuku yg selalu membuatku malu.Aku pergi, belajar, menikah, punya anakdan akupun membeli rumah di Singapura.

Aku menikmati masa-masa bahagia dari hidupku, hingga pada suatu hari Ibuku datang mengunjungiku, saat itu aku sedang tidak ada di rumah.Ia (ibuku) pun bermain-main dan bersenda gurau dengan anak-anakku, hingga ketika aku pulang kerja akupun kaget melihatnya, dengan setengah berteriak aku mengatakan,

“Heyyyberani benar Ibu datang kemari dan bermain dengan anak-anakku?” keluar sekarang juga, teriakku.”

Ibuku menjawab; “oh maaf, sepertinya Ibu salah masuk rumah.”

Ia-pun keluar dan menghilang dari pandanganku. Huff..dasar, kenapa juga dia kemari, celotehku.

Beberapa bulan kemudian, aku melakukan perjalanan dinas di daerah kelahiranku (tempat-ku sekolah dulu). Iseng-iseng dan sekedar hanya ingin tahu, akupun berniat melihat rumah kami dulu, tepatnya rumah Ibuku, Ibu yang selalu membuatku malu.

Setibanya di depan rumah, belum sempat aku masuk ke dalam rumah, seorang tetangga yang aku kenal dulu sebagai petani tua memanggilku,

“Ibumu sudah meninggal sebulan yang lalu nak, dia menitipkan surat ini untuk diserahkan padamu.” Ujarnya.

Aneh, sedikitpun aku tidak merasakan sedih ataupun kehilangan.Akupun berlalu dari pak tua itu. Sambil duduk di kursi tua di bawah pohon cemara di depan rumah kami, perlahan namun pasti kubuka surat tersebut,

“Anakku sayang, sepanjang hari Ibu selalu memikirkanmu, Ibu rindu denganmu nak, Ibu kangen denganmu anakku. Semenjak Ayahmu berpulang keharibaan-Nya, hanya engkaulah mutiara ibu nak.”

“Duhai mutiara hatiku, maafkan Ibu nak, waktu itu Ibu berkunjung ke rumahmu di Singapura tanpa memberi kabar terlebih dahulu, Ibu tidak bermaksud membuatmu malu anakku, Ibu juga tidak berniat untuk menakut-nakuti anakmu dengan kondisi Ibu yang hanya memiliki satu mata, Ibu hanya kangen dan ingin melepas rindu padamu dan cucu-cucu Ibu.”

“Ibu mohon maaf karena sering membuatmu malu, Ibu mohon maaf karena telah membuat hidupmu tidak nyaman anakku.”

“Ketahuilah duhai anakku sayang, dulu ketika engkau masih kecil.., engkau mengalami kecelakaan sehingga harus kehilangan satu bola matamu.”

“Sebagai seorang Ibu, aku tidak tega, aku tidak sanggup membiarkan engkau hidup dalam kesedihan dan tumbuh besar hanya dengan satu bola mata. Ibu tidak ingin engkau dihina oleh teman-temanmu hanya karena satu matamu telah tiada.”

“Oleh karena itu, akupun memberikan satu bola mataku untukmu anakku sayang.
Ibu sangat bahagia dan sangat bangga karena anak Ibu satu-satunya dapat melihat dunia dengan mata kepalaku sendiri”

Tanpa terasa, air mataku pun menetes, tidak tahu harus bilang apa, tidak tahu harus berbuat apa, hatiku berkecamuk, air mataku semakin deras mengalir.

Ibu

Maafkan anakmu ini

*Disadur dari akun facebook Josy Renalt Siregar