PEMIMPIN NON MUSLIM DALAM ASAS DEMOKRASI
Demokrasi sebagai salah satu bentuk sistem pemerintah
memiliki dua asas pokok, yakni 1) pengakuan partisipasi rakyat dalam
pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan
rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, serta 2)
pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah
untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Seperti apakah hak-hak asasi manusia yang dimaksud dalam asas
demokrasi terutama dalam pelaksanaan proses demokrasi itu sendiri?
Hak-hak
(dan kewajiban) tersebut terwujud dalam bentuk antara lain; a) mengikuti proses
pemilu b) mencalonkan diri sebagai wakil rakyat c) memilih wakil rakyat
e)mendirikan partai politik f) menjadi anggota partai politik g) mendapatkan
perlakuan dan pelayanan yang sama dalam proses pemilihan umum h) menggunakan
hak pilihnya secara bebas dan bertanggung jawab tanpa adanya paksaan maupun
tekanan pihak lain i) mendapat perlindungan dari negara atas pelaksanaan
hak-hak yang dimilikinya.
Menurut
Alamudi sebagaimana dikutip Sri Wuryan dan Syaifullah dalam bukunya yang
berjudul Ilmu Kewarganergaraan (2006: 84), suatu negara dapat disebut berbudaya
demokrasi apabila memiliki soko guru (prinsip) demokrasi sebagai berikut: a)
kedaulatan rakyat b) pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah
c) kekuasaan mayoritas d) hak-hak minoritas d) jaminan hak asasi manusia e)
pemilihan yang bebas dan jujur f) persamaan di depan hukum g) proses hukum yang
wajar h) pembatasan pemerintah secara konstitusional i) pluralism sosial,
ekonomi dan politik j) nilai-nilai toleransi, pragmatism, kerjasama dan
mufakat.
Salah
satu prinsip yang disebutkan oleh Alamudi tersebut adalah kekuasaan mayoritas,
yang mana harus bergandengan dengan jaminan atas hak asasi manusia. Kelompok
mayoritas dapat melindungi kaum minoritas dan hak-hak minoritas tidak dapat
dihapuskan oleh suara mayoritas.
Indonesia
adalah negara dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Beragam suku, bangsa,
budaya dan agama dipersatukan secara sama rata dalam status warga negara Indonesia.
Mayoritas warga negara Indonesia adalah Muslim, sehingga ketika kita
menyinggung tentang masalah kepemimpinan terlebih yang menyangkut jabatan di
badan eksekutif (presiden, gubernur, bupati dll.), hal ini seringkali memicu
kontroversi di lingkungan masyarakat, sehingga timbullah rasa perpecahan yang
bertentangan dengan nilai-nilai toleransi.
Lalu
bagaimana sebenarnya pelaksanaan demokrasi di sebuah negara non-Islam dengan
penduduk yang mayoritas adalah Muslim? Q. S Al-Maidah ayat 51 sempat memicu
kehebohan di negeri ini, sementara dalam pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1),
Pasal 6A (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C (1), UUD 1945 merumuskan bahwa
tidak dibenarkan adanya diskriminasi mengenai ras, kekayaan, agama dan
keturunan, sehingga muncullah pertanyaan apakah Islam tidak cocok dengan sistem
demokrasi yang menyamaratakan hak warga negara untuk dipilih dan memilih?
Apakah ada perbedaan perlakuan terhadap Muslim dan non-Muslim dalam hal
pemenuhan hak dasar individu di bidang politik?
Sebelum
pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terjawab, kami ingin membahas sedikit
mengenai persyaratan yang harus dipenuhi bagi seseorang untuk dapat menjadi
pemimpin di Indonesia yang notabene menganut sistem demokrasi pula, bahwasanya
baik dalam Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden ataupun dalam pasal UU lain berkenaan dengan persyaratan menjadi
gubernur, bupati dan lain-lain, status Muslim tidaklah dipersyaratkan. Dengan
kata lain, sah-sah saja seorang non-Muslim menjadi pemimpin asalkan suara
mayoritas memang memberi dukungan kepadanya.
Kembali ke
pertanyaan awal yang mengenai kecocokan Islam dengan demokrasi. Fahmi Huwaydi
dalam bukunya Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani, mengatakan bahwa Islam
telah didiskreditkan dalam dua hal. Pertama, ketika ia dibandingkan dengan
demokrasi. Kedua, ketika dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi.
Dari segi
metode, perbandingan antara kedua hal di atas tidak bisa dibenarkan, karena
Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur
ibadah, akhlak dan muamalah manusia. Sedangkan demokrasi hanya aebuah sistem
pemerintahan dan mekanisme kerja sama antara anggota masyarakat serta simbol
yang membawa banyak nilai-nilai positif.
Selain itu,
unsur-unsur dalam sistem politik Islam tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi. Kekuasaan dipegang penuh oleh umat, masyarakat ikut
berperan dan bertanggung jawab,kebebasan adalah hak bagi semua orang, persamaan di antara semua manusia, itu
adalah beberapa prinsip sistem politik Islam yang sejalan dengan sistem
demokrasi.
Pandangan
subjektif sangat mempengaruhi kaum Muslim, bukan Islam, dalam menyikapi sistem
demokrasi. Sebagian orang tidak memandang demokrasi sekarang ini sebagai sistem
pemerintahan yang berlandaskan pada kebebasan, kerjasama politik, pluralisme
dan lain-lain, tetapi memandangnya sebagai rumusan bagi konsep Barat yang
memperburuk citra bangsa Arab dan kaum Muslim.
Dr. Dhiya'uddin
ar-Rais mengatakan bahwa Islam da Demokrasi memiliki beberapa kesamaan. Di
antaranya terletak pada pemikiran sistem politik antara umat dam penguasa serta
tanggung jawab pemerintahan. Kesimpulannya, bahwa antara Islam dan demokrasi
memiliki kesamaan yang lebih dari sekedar di bidang politik, namun unsur-unsur
dan keistimewaam dalam demokrasi juga terkandung dalam Islam.
Pemimpin itu sendiri
adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang
baik untuk mengurus atau mengatur orang lain, seorang pemimp[in harus memiliki
jiwa kepemimpinan, sedangkan yang dimaksud dengan Kepemimpinan adalah kemampuan
seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai
tujuan bersama, dan seorang pemimpin itu sendiri mempunyai kekuasaan atas yang
dipimpin, Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau
melakukan apa yang diinginkan.
Dalam ajaran islam adapun kriteria pemimpin itu
sendiri, yakni:
a.
Pemimpin yang mukmin.
b.
Tegas dalam menjalankan perintah Tuhan.
c.
Takut kepada Allah swt sewaktu mengurusi
orang-orang yang dipimpinnya.
d.
Tidak menzalimi siapapun.
e.
Tidak memeras hak-hak orang lain.
f.
Menegakkan
dan bukan melecehkan hudud Allah swt.
g.
Membahagiakan rakyatnya dengan mengharap rida
Allah swt.
h.
Orang kuat di sisinya menjadi lemah sehingga si
lemah dapat mengambil kembali haknya
yang direbut si kuat.
i.
Orang lemah di sisinya menjadi kuat sehingga haknya
dapat terlindungi.
j.
Menampakkan kepatuhan kepada Allah swt dalam
menetapkan kebijakan yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak sehingga
dirinya dan orang-orang yang dipimpinnya merasa bahagia.
k.
Semua orang hidup aman dan tenteram.
l.
Sangat mencintai manusia, begitu pula sebaliknya.
m.
Selalu mendoakan manusia, begitu pula sebaliknya.
Kriteria di atas menjadi indikator bagi pemimpin yang terbaik dan termulia di
sisi Allah swt dan manusia.
Adapun
cirri-ciri pemimpin menurut islam adalah sebagai berikut :
1.
Niat Yang Tulus
Apabila menerima suatu tanggung jawab, hendaklah
didahului dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Iringi
hal itu dgn mengharapkan keredhaan-Nya sahaja. Kepemimpinan atau jabatan adalah
tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
2.
Laki-Laki yang Baligh dan Berakal
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk
kepemimpinan. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan
beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu
Bakarah Radhiyallahu’anhu).
3.
Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah
Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk
menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena
permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika
kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan
dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
4.
Berpegang Dan Konsisten Pada
Hukum Allah
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah
berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan jaganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”
(al-Maaidah:49). Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dilucutkan
dari jabatannya.
5.
Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin
mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan
keadaan terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan
dijerusmuskan oleh kezalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam
kitab Al-Kabir).
6.
Senantiasa Ada Ketika Diperlukan
Rakyat
Hendaklah selalu membuka pintu utk setiap pengaduan
dan permasalahan rakyat. Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin atau
pemerintah yg menutup pintunya terhadap keperluan, hajat, dan kemiskinan
kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap keperluan, hajat, dan
kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
7.
Menasihati Rakyat
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin yg
memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak
menasihati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk syurga bersama mrk
(rakyatnya).”
8.
Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yg memberikan hadiah kepada seorang
pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau
mengambil hati. Oleh kerena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian
hadiah dari rakyatnya. Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin
adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
9.
Mencari Pemimpin Yang Baik
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus
seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu
golongan pembantu, yaitu pembantu yang menyuruh kepada kebaikan dan
mendorongnya kesana, dan pembantu yang menyuruh kpd kemungkaran dan
mendorongnya ke sana. Maka org yg terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,”
(Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).
10.
Lemah Lembut
Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus
satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang
siapa yg mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka,
maka berlemah lembutlah kepadanya.
11.
Tidak Meragukan Rakyat
Rasulullah bersabda,” Jika seorang pemimpin
menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam
Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim).
12.
Terbuka Untuk Menerima Ide &
Kritikan
Salah satu prinsip Islam adalah kebebasan bersuara.
Kebebasan bersuara ini adalah platform bagi rakyat utk memberi idea atau
kritikan kepada kerajaan & pemimpin agar sma mngembling tenaga &
ijtihad kearah pembentukn negara yg maju. Saidina Abu Bakar berucap ketika
dilantik menjadi khalifah, beliau menegaskan "..saya berlaku baik,
tolonglah saya, dan apabila saya berlaku buruk, betulkn saya..", manakala
Khalifah Umar prnah ditegur oleh seorang wanita ketika memberi arahan di
masjid, dan beliau menerima teguran tersebut.
Namun
yang menjadi pertanyaan sekarang adalah boleh nggak kita memilih pemimpin non
muslim? Banyak pendapat yang dilontar oleh para cendikiawan, ustad-ustad dll. Berikut
kami rangkum pendapat yang mengharamkan dan membolehkan:
1.
Pendapat
yang mengharamkan
Para ulama yang mengharamkan memilih pemimpin
non-muslim (kafir) berdasarkan ayat pada surat Ali Imran 28, "Janganlah
orang-orang mukmin itu mengambil orang kafir sebagai auliya' dengan
meninggalkan orang-orang mukmin......" Di samping itu ada beberapa ayat
lain yang senada, di antaranya An-Nisa 139.
Pada ayat di atas digunakan kata
"auliya", bentuk jamak dari wali. Kata ini bisa bermakna pemimpin,
pelindung, dan sekutu. Pemimpin politik menurut para ulama adalah bagian dari
"auliya", sehingga tak patut bagi kaum mukmin memilihnya dari
kalangan kafir.
Perlu dicatat bahwa dari aspek asbabun nuzul,
ada beberapa versi mengenai konteks ayat ini. Namun dari beberapa versi itu
semua mengacu pada satu hal, yaitu bahwa ada orang yang mencoba bersekutu
dengan orang lain (Yahudi dan munafik) yang sudah jelas permusuhannya, dan ayat
ini adalah celaan terhadap perilaku tersebut.
Pemimpin dalam pengertian politik dan
pemerintahan dalam berbagai kajian lebih sering disebut sebagai ulil amri.
Istilah ini muncul di surat An-Nisa 59 dan 89. Kedua ayat mengajarkan bahwa seorang
ulil amri haruslah seseorang yang selalu bisa merujuk pada Allah dan rasulNya
(fain tanaaza'tum fii syai'in farudduu ilallaahi wa rasuulihi), yang artinya ia
haruslah orang beriman (Islam).
Tafsir atas istilah ulil amri sendiri ada
banyak, mulai dari yang spesifik menunjuk kepada Abu Bakar dan Umar saja, atau
kepada sahabat-sahabat rasul. Ada juga yang menafsirkannya sebagai para ulama
yang fakih. Ada pula yang menafsirkan ulil amri adalah orang yang ahli dalam
suatu bidaang strategis pada zamannya.
2.
Pendapat
yang membolehkan
Salah satu pendapat yang membolehkan datang
dari Ibnu Taimiyah. Kutipan pendapatnya pernah disampaikan oleh alm. Nurcholis
Madjid dalam pidatonya di TIM tahun 1990, yang mengundang kontroversi. Menurut
Ibnu Taimiyah,..... Allah menolong negara yang adil walaupun kafir, dan tidak
akan menolong negara zalim walaupun muslim."
Menurut Yusuf Qardhawi larangan memilih
pemimpin dari kalangan non-muslim itu berlaku apabila mereka menunjukkan
permusuhan. Jadi dasar utamanya bukan agama. Tentu sangat logis bahwa kita
tidak boleh menjadikan orang yang memusuhi kita sebagai pemimpin.
a.
Nalar
Mari kita bernalar dalam isu ini. Bayangkan
bila di Indonesia ini kita sebagai orang Islam hanya membolehkan orang Islam
sebagai pemimpin. Presiden, harus muslim. Menteri-menteri, pejabat-pejabati di
kementerian, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, dan seterusnya, semua
harus muslim. Lalu, orang non-muslim jadi apa? Sekedar jadi tukang sapu? Tentu
hal tersebut tak akan terjadi, karena memang tak patut terjadi. Orang-orang
non-muslim pun turut mendirikan negara ini. Mereka juga berkontribusi pada
pembangunan negeri ini. Tentu tak patut kalau mereka tidak kita bolehkan ikut
serta menjadi pemimpin. Ada negara muslim yang membatasi ruang gerak non-muslim
seperti Arab Saudi. Di sana tentu saja semua urusan pemerintahan dipegang oleh
muslim. Jangankan ikut dalam pemerintahan, sekedar punya rumah ibadah saja
non-muslim tidak boleh. Tapi, hal semacam itukah yang kita inginkan? Bagaimana
bila kita orang-orang muslim diperlakukan begitu di negeri lain? Bagaimana
kalau orang-orang muslim didiskriminasi di Amerika atau Eropa? Tidak boleh
beribadah, dan tidak boleh ikut pemilu, atau bahkan tak boleh tinggal di sana.
Tentu kita tak suka. Kita tak suka dengan kelakuan sejumlah politikus
anti-Islam di Eropa seperti Greetz Wilder itu. Lalu, kenapa kita hendak meniru
kelakuan mereka, dengan berusaha menghalangi partisipasi non-muslim sebagaimana
mereka menghalangi partisipasi kaum muslim? Mengapa kita mencubit orang padahal
kita tak suka dicubit?
b.
Kriteria
pemimpin
Berbagai ayat yang menerangkan tentang kriteria
pemimpin, di antaranya Al-Qashash 26 menyebut dua kata kunci, yaitu kuat (dan
bisa pula kita maknai sebagai kompeten) dan amanah. Dua hal ini bisa kita
dapatkan dari sosok seorang muslim, namun tidak tertutup pula dari kalangan
non-muslim. Sejarah telah menunjukkan pada kita ada begitu banyak orang yang
kompeten, adil, dan amanah yang berasal dari kalangan non-muslim.
By: Departemen Keilmuan IRMAFA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar