Jumat, 05 Mei 2017

Artikel - Pemimpin NonMuslim Dalam Asas Demokrasi

PEMIMPIN NON MUSLIM DALAM ASAS DEMOKRASI

Demokrasi sebagai salah satu bentuk sistem pemerintah memiliki dua asas pokok, yakni 1) pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, serta 2) pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
            Seperti apakah hak-hak asasi manusia yang dimaksud dalam asas demokrasi terutama dalam pelaksanaan proses demokrasi itu sendiri?
            Hak-hak (dan kewajiban) tersebut terwujud dalam bentuk antara lain; a) mengikuti proses pemilu b) mencalonkan diri sebagai wakil rakyat c) memilih wakil rakyat e)mendirikan partai politik f) menjadi anggota partai politik g) mendapatkan perlakuan dan pelayanan yang sama dalam proses pemilihan umum h) menggunakan hak pilihnya secara bebas dan bertanggung jawab tanpa adanya paksaan maupun tekanan pihak lain i) mendapat perlindungan dari negara atas pelaksanaan hak-hak yang dimilikinya.
            Menurut Alamudi sebagaimana dikutip Sri Wuryan dan Syaifullah dalam bukunya yang berjudul Ilmu Kewarganergaraan (2006: 84), suatu negara dapat disebut berbudaya demokrasi apabila memiliki soko guru (prinsip) demokrasi sebagai berikut: a) kedaulatan rakyat b) pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah c) kekuasaan mayoritas d) hak-hak minoritas d) jaminan hak asasi manusia e) pemilihan yang bebas dan jujur f) persamaan di depan hukum g) proses hukum yang wajar h) pembatasan pemerintah secara konstitusional i) pluralism sosial, ekonomi dan politik j) nilai-nilai toleransi, pragmatism, kerjasama dan mufakat.
            Salah satu prinsip yang disebutkan oleh Alamudi tersebut adalah kekuasaan mayoritas, yang mana harus bergandengan dengan jaminan atas hak asasi manusia. Kelompok mayoritas dapat melindungi kaum minoritas dan hak-hak minoritas tidak dapat dihapuskan oleh suara mayoritas.
            Indonesia adalah negara dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Beragam suku, bangsa, budaya dan agama dipersatukan secara sama rata dalam status warga negara Indonesia. Mayoritas warga negara Indonesia adalah Muslim, sehingga ketika kita menyinggung tentang masalah kepemimpinan terlebih yang menyangkut jabatan di badan eksekutif (presiden, gubernur, bupati dll.), hal ini seringkali memicu kontroversi di lingkungan masyarakat, sehingga timbullah rasa perpecahan yang bertentangan dengan nilai-nilai toleransi.
            Lalu bagaimana sebenarnya pelaksanaan demokrasi di sebuah negara non-Islam dengan penduduk yang mayoritas adalah Muslim? Q. S Al-Maidah ayat 51 sempat memicu kehebohan di negeri ini, sementara dalam pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C (1), UUD 1945 merumuskan bahwa tidak dibenarkan adanya diskriminasi mengenai ras, kekayaan, agama dan keturunan, sehingga muncullah pertanyaan apakah Islam tidak cocok dengan sistem demokrasi yang menyamaratakan hak warga negara untuk dipilih dan memilih? Apakah ada perbedaan perlakuan terhadap Muslim dan non-Muslim dalam hal pemenuhan hak dasar individu di bidang politik?
            Sebelum pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terjawab, kami ingin membahas sedikit mengenai persyaratan yang harus dipenuhi bagi seseorang untuk dapat menjadi pemimpin di Indonesia yang notabene menganut sistem demokrasi pula, bahwasanya baik dalam Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ataupun dalam pasal UU lain berkenaan dengan persyaratan menjadi gubernur, bupati dan lain-lain, status Muslim tidaklah dipersyaratkan. Dengan kata lain, sah-sah saja seorang non-Muslim menjadi pemimpin asalkan suara mayoritas memang memberi dukungan kepadanya.
Kembali ke pertanyaan awal yang mengenai kecocokan Islam dengan demokrasi. Fahmi Huwaydi dalam bukunya Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani, mengatakan bahwa Islam telah didiskreditkan dalam dua hal. Pertama, ketika ia dibandingkan dengan demokrasi. Kedua, ketika dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi.
Dari segi metode, perbandingan antara kedua hal di atas tidak bisa dibenarkan, karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalah manusia. Sedangkan demokrasi hanya aebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja sama antara anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak nilai-nilai positif.
Selain itu, unsur-unsur dalam sistem politik Islam tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Kekuasaan dipegang penuh oleh umat, masyarakat ikut berperan dan bertanggung jawab,kebebasan adalah hak bagi semua  orang, persamaan di antara semua manusia, itu adalah beberapa prinsip sistem politik Islam yang sejalan dengan sistem demokrasi.
Pandangan subjektif sangat mempengaruhi kaum Muslim, bukan Islam, dalam menyikapi sistem demokrasi. Sebagian orang tidak memandang demokrasi sekarang ini sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan pada kebebasan, kerjasama politik, pluralisme dan lain-lain, tetapi memandangnya sebagai rumusan bagi konsep Barat yang memperburuk citra bangsa Arab dan kaum Muslim.
Dr. Dhiya'uddin ar-Rais mengatakan bahwa Islam da Demokrasi memiliki beberapa kesamaan. Di antaranya terletak pada pemikiran sistem politik antara umat dam penguasa serta tanggung jawab pemerintahan. Kesimpulannya, bahwa antara Islam dan demokrasi memiliki kesamaan yang lebih dari sekedar di bidang politik, namun unsur-unsur dan keistimewaam dalam demokrasi juga terkandung dalam Islam.
            Pemimpin itu sendiri adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain, seorang pemimp[in harus memiliki jiwa kepemimpinan, sedangkan yang dimaksud dengan Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama, dan seorang pemimpin itu sendiri mempunyai kekuasaan atas yang dipimpin, Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan.
            Dalam ajaran islam adapun kriteria pemimpin itu sendiri, yakni:
a.       Pemimpin yang mukmin.
b.      Tegas dalam menjalankan perintah Tuhan.
c.       Takut kepada Allah swt sewaktu mengurusi orang-orang yang dipimpinnya.
d.      Tidak menzalimi siapapun.
e.       Tidak memeras hak-hak orang lain.
f.        Menegakkan dan bukan melecehkan hudud Allah swt.
g.       Membahagiakan rakyatnya dengan mengharap rida Allah swt.
h.      Orang kuat di sisinya menjadi lemah sehingga si lemah dapat mengambil kembali haknya  yang direbut si kuat.
i.        Orang lemah di sisinya menjadi kuat sehingga haknya dapat terlindungi.
j.        Menampakkan kepatuhan kepada Allah swt dalam menetapkan kebijakan yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak sehingga dirinya dan orang-orang yang dipimpinnya merasa bahagia.
k.      Semua orang hidup aman dan tenteram.
l.        Sangat mencintai manusia, begitu pula sebaliknya.
m.    Selalu mendoakan manusia, begitu pula sebaliknya. Kriteria di atas menjadi indikator bagi pemimpin yang terbaik dan termulia di sisi Allah swt dan manusia.
Adapun cirri-ciri pemimpin menurut islam adalah sebagai berikut :
1.       Niat Yang Tulus
Apabila menerima suatu tanggung jawab, hendaklah didahului dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Iringi hal itu dgn mengharapkan keredhaan-Nya sahaja. Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
2.       Laki-Laki yang Baligh dan Berakal
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu).
3.       Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
4.       Berpegang Dan Konsisten Pada Hukum Allah
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan jaganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49). Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dilucutkan dari jabatannya.
5.       Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan keadaan terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
6.       Senantiasa Ada Ketika Diperlukan Rakyat
Hendaklah selalu membuka pintu utk setiap pengaduan dan permasalahan rakyat. Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin atau pemerintah yg menutup pintunya terhadap keperluan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap keperluan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
7.       Menasihati Rakyat
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin yg memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasihati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk syurga bersama mrk (rakyatnya).”
8.       Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yg memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Oleh kerena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya. Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
9.       Mencari Pemimpin Yang Baik
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pembantu, yaitu pembantu yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pembantu yang menyuruh kpd kemungkaran dan mendorongnya ke sana. Maka org yg terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).
10.   Lemah Lembut
Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yg mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.
11.   Tidak Meragukan Rakyat
Rasulullah bersabda,” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim). 
12.   Terbuka Untuk Menerima Ide & Kritikan
Salah satu prinsip Islam adalah kebebasan bersuara. Kebebasan bersuara ini adalah platform bagi rakyat utk memberi idea atau kritikan kepada kerajaan & pemimpin agar sma mngembling tenaga & ijtihad kearah pembentukn negara yg maju. Saidina Abu Bakar berucap ketika dilantik menjadi khalifah, beliau menegaskan "..saya berlaku baik, tolonglah saya, dan apabila saya berlaku buruk, betulkn saya..", manakala Khalifah Umar prnah ditegur oleh seorang wanita ketika memberi arahan di masjid, dan beliau menerima teguran tersebut.
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah boleh nggak kita memilih pemimpin non muslim? Banyak pendapat yang dilontar oleh para cendikiawan, ustad-ustad dll. Berikut kami rangkum pendapat yang mengharamkan dan membolehkan:
1.        Pendapat yang mengharamkan
Para ulama yang mengharamkan memilih pemimpin non-muslim (kafir) berdasarkan ayat pada surat Ali Imran 28, "Janganlah orang-orang mukmin itu mengambil orang kafir sebagai auliya' dengan meninggalkan orang-orang mukmin......" Di samping itu ada beberapa ayat lain yang senada, di antaranya An-Nisa 139.
Pada ayat di atas digunakan kata "auliya", bentuk jamak dari wali. Kata ini bisa bermakna pemimpin, pelindung, dan sekutu. Pemimpin politik menurut para ulama adalah bagian dari "auliya", sehingga tak patut bagi kaum mukmin memilihnya dari kalangan kafir.
Perlu dicatat bahwa dari aspek asbabun nuzul, ada beberapa versi mengenai konteks ayat ini. Namun dari beberapa versi itu semua mengacu pada satu hal, yaitu bahwa ada orang yang mencoba bersekutu dengan orang lain (Yahudi dan munafik) yang sudah jelas permusuhannya, dan ayat ini adalah celaan terhadap perilaku tersebut.
Pemimpin dalam pengertian politik dan pemerintahan dalam berbagai kajian lebih sering disebut sebagai ulil amri. Istilah ini muncul di surat An-Nisa 59 dan 89. Kedua ayat mengajarkan bahwa seorang ulil amri haruslah seseorang yang selalu bisa merujuk pada Allah dan rasulNya (fain tanaaza'tum fii syai'in farudduu ilallaahi wa rasuulihi), yang artinya ia haruslah orang beriman (Islam).
Tafsir atas istilah ulil amri sendiri ada banyak, mulai dari yang spesifik menunjuk kepada Abu Bakar dan Umar saja, atau kepada sahabat-sahabat rasul. Ada juga yang menafsirkannya sebagai para ulama yang fakih. Ada pula yang menafsirkan ulil amri adalah orang yang ahli dalam suatu bidaang strategis pada zamannya. 
2.        Pendapat yang membolehkan
Salah satu pendapat yang membolehkan datang dari Ibnu Taimiyah. Kutipan pendapatnya pernah disampaikan oleh alm. Nurcholis Madjid dalam pidatonya di TIM tahun 1990, yang mengundang kontroversi. Menurut Ibnu Taimiyah,..... Allah menolong negara yang adil walaupun kafir, dan tidak akan menolong negara zalim walaupun muslim."
Menurut Yusuf Qardhawi larangan memilih pemimpin dari kalangan non-muslim itu berlaku apabila mereka menunjukkan permusuhan. Jadi dasar utamanya bukan agama. Tentu sangat logis bahwa kita tidak boleh menjadikan orang yang memusuhi kita sebagai pemimpin.
a.       Nalar
Mari kita bernalar dalam isu ini. Bayangkan bila di Indonesia ini kita sebagai orang Islam hanya membolehkan orang Islam sebagai pemimpin. Presiden, harus muslim. Menteri-menteri, pejabat-pejabati di kementerian, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, dan seterusnya, semua harus muslim. Lalu, orang non-muslim jadi apa? Sekedar jadi tukang sapu? Tentu hal tersebut tak akan terjadi, karena memang tak patut terjadi. Orang-orang non-muslim pun turut mendirikan negara ini. Mereka juga berkontribusi pada pembangunan negeri ini. Tentu tak patut kalau mereka tidak kita bolehkan ikut serta menjadi pemimpin. Ada negara muslim yang membatasi ruang gerak non-muslim seperti Arab Saudi. Di sana tentu saja semua urusan pemerintahan dipegang oleh muslim. Jangankan ikut dalam pemerintahan, sekedar punya rumah ibadah saja non-muslim tidak boleh. Tapi, hal semacam itukah yang kita inginkan? Bagaimana bila kita orang-orang muslim diperlakukan begitu di negeri lain? Bagaimana kalau orang-orang muslim didiskriminasi di Amerika atau Eropa? Tidak boleh beribadah, dan tidak boleh ikut pemilu, atau bahkan tak boleh tinggal di sana. Tentu kita tak suka. Kita tak suka dengan kelakuan sejumlah politikus anti-Islam di Eropa seperti Greetz Wilder itu. Lalu, kenapa kita hendak meniru kelakuan mereka, dengan berusaha menghalangi partisipasi non-muslim sebagaimana mereka menghalangi partisipasi kaum muslim? Mengapa kita mencubit orang padahal kita tak suka dicubit?
b.      Kriteria pemimpin
Berbagai ayat yang menerangkan tentang kriteria pemimpin, di antaranya Al-Qashash 26 menyebut dua kata kunci, yaitu kuat (dan bisa pula kita maknai sebagai kompeten) dan amanah. Dua hal ini bisa kita dapatkan dari sosok seorang muslim, namun tidak tertutup pula dari kalangan non-muslim. Sejarah telah menunjukkan pada kita ada begitu banyak orang yang kompeten, adil, dan amanah yang berasal dari kalangan non-muslim.


By: Departemen Keilmuan IRMAFA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar