Rabu, 19 April 2017

Artikel - R. A. Kartini

R.A. KARTINI
Oleh: Dept. Keilmuan
Kartini atau seorang yang bernama asli Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini lahir di JeparaJawa Tengah21 April 1879. Dia adalah seorang tokoh jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia juga sebagai salah satu sosok wanita yang menjadi pelopor untuk kebangkitan wanita pribumi. Dia adalah sosok wanita yang wajib dijadikan inspirasi hidup bagi warga Indonesia khususnya bagi para kaum wanita. Perjuangannya untuk memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia patut di apresiasi.
Biografi
Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan, oleh sebab itu ia memperoleh gelar R.A (Raden Ajeng) di depan namanya, gelar itu sendiri (Raden Ajeng) dipergunakan oleh Kartini sebelum ia menikah, jika sudah menikah maka gelar kebangsawanan yang dipergunakan adalah R.A (Raden Ayu) menurut tradisi Jawa. Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai Bupati Jepara yang diangkat saat berusia 25 tahun dan dikenal sebagai salah satu bupati pertama yang memberikan pendidikan barat kepada anak-anaknya.
R.M. Adipati Ario Sosroningrat juga pernah menjabat sebagai bupati Jepara setelah Kartini dilahirkan. Dari ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Tidak hanya itu, ayahnya dikatakan masih memiliki garis keturunan dari Kerajaan Majapahit hal ini diperkuat dengan pernyataan 'Pada abad ke-18 Pangeran Dangirin menjadi bupati di Surabaya sehingga nenek moyang R.M. Adipati Ario Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja.
Berbeda dengan ayahnya, ibu dari Kartini bukan keturunan dari bangsawan melainkan hanya rakyat biasa. Nama beliau adalah M.A. Ngasirah merupakan anak dari Kyai Haji Madirono dengan Nyai Haji Siti Aminah, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Raden Ayu Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari semua saudara kandungnya, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakaknya yang bernama Sosrokartono, seorang yang pintar dalam bidang sastra atau bahasa.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Pemikiran Mengenai Emansipasi Wanita
Banyak yang menyebut Kartini sebagai tokoh gerakan emansipasi perempuan. Pemikiran dalam bukunya berjudul Door Duisternis Tot Lieht atau Habis Gelap Terbitlah Terang menggambarkan keinginannya memperjuangkan kaum perempuan Jawa saat itu agar mendapatkan pendidikan layak. Pemikiran Kartini sebagian besar dipengaruhi realitas sosial di sekelilingnya dan interaksi gagasan dengan rekan-rekannya di Belanda. Tapi, sifat progresif yang diwarisi dari ayahnya, Sosroningrat, bahwa pendidikan sebagai instrumen penting kemajuan bangsa dan ilmu pengetahuan sebagai pintu kebahagiaan individu dan masyarakat, telah membekas mendalam pada dirinya.
Kalau kita teliti, jejak perjuangan Kartini adalah perjuangan agar perempuan Indonesia bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Bukan perjuangan untuk emansipasi di segala bidang. Kartini menyadari, perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan. Agar dapat menjalankan perannya dengan baik, perempuan harus mendapat pendidikan yang baik pula. Dalam sebuah suratnya, kepada Prof. Anton dan istrinya pada 4 Oktober 1902 Kartini menulis, ”Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
Kartini berharap, manusia bumiputra yang diinginkan dalam proses pendidikan menjadi individu yang memiliki kecerdasan akal dan keluhuran budi pekerti. Dalam bahasa konstitusi kita yang tertulis di Pasal 31 ayat 3 UUD Negara RI tahun 1945 dinyatakan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang." Ini berarti, pemikiran pendidikan Kartini telah melampaui zamannya. Dalam usia 12 tahun, Kartini muda sudah mampu memformulasikan gagasan pendidikan secara filosofis dan sosiologis.
Dalam tulisannya yang berjudul ‘Berilah Orang Jawa Pendidikan!’ pada 3 Januari 1903, dia menegaskanpendidikan yang tak hanya mengutamakan kecerdasan otak, melainkan juga memperhatikan akhlak.  Pendidikan di sekolah harus dibarengi dengan pendidikan dalam keluarga. Kata Kartini, “Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi juga keluarga di rumah harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu harus berasal.” (Kartini dalam Berilah Orang Jawa Pendidikan tertanggal Januari 1903). Untuk para guru di sekolah, Kartini mengharapkan guru tak mengajar semata, tapi juga harus menjadi pendidik. Dalam notanya berjudul Berilah Orang Jawa Pendidikan!, Kartini dengan tegas berkata, “... Guru-guru memiliki tugas rangkap: menjadi guru dan pendidik! Mereka harus melaksanakan pendidikan rangkap itu, yaitu: pendidikan pikiran dan budi pekerti”.
Perhatian Kartini soal pendidikan di sekolah berjalan beriringan dengan perhatiannya terhadap pendidikan dalam keluarga. Pada titik ini, Kartini menginginkan agar kaum perempuan memiliki kemampuan prima dalam mendidik anak-anaknya. Bagi Kartini, mendidik perempuan merupakan kunci peradaban. Perempuan yang menjadi ibu memiliki peran besar dalam pendidikan anak-anak. Menurut Kartini, pemerintah berkewajiban meningkatkan kesadaran budi perempuan, mendidik perempuan, memberi pelajaran perempuan, dan menjadikan perempuan sebagai ibu dan pendidik yang cakap dan cerdas. Pemikiran ini memadukan aspek kognitif dan afektif atau dalam bahasa Kartini, kecerdasan akal, budi, dan jiwa. Pemikiran Kartini ternyata menembus batas geografis dan gender sekalipun. Oleh karenanya, layak jika ia pun harus didaulat sebagai tokoh pendidikan bangsa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar