Minggu, 30 April 2017

Remata Sakir Menyambut Kader Baru IRMAFA 2017


Penyusun Redaksi       : Nugraha Yunus Mulyawan



Ciputat, dalam rangka Recrutmen anggota baru, Ikatan Remaja Masjid Fathullah (IRMAFA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar REMATA (Recrutmen masa ta’aruf) yang memiliki jargon Semangat beramal dan berfikir (SAKIR)  meliputi Indoor dan Outdoor.
Acara Indoor di gelar di aula lt.2 Masjid Fathullah pada tanggal 02 April 2017, dalam acara Indoor tsb menyajikan sejumlah materi mengenai sejarah IRMAFA yang disampaikan oleh Ibu Atiah Fitri yang merupakan anggota IRMAFA gelombang pertama, Ibu Atiah menjelaskan IRMAFA pertama kali berdiri pada tanggal 01 Juni 1997 IRMAFA terlahir di pusat pengembangan Agama Islam yakni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta oleh pembimbing yang ahli dalam urusan agama sebagai rujukan keagamaan dan keberagaman perbedaan pendapat sebagai bahan rujukan untuk masyarakat sekitarnya. Bu Atiah pun menjelaskan dalam rangkaian materinya mengenai manfaat yang didapatkan ketika kita berorganisasi yaitu dapat mengasah mental dan pikiran serta belajar untuk menghargai orang lain karena menemui berbagai karakter orang,  mengasah komitmen diri, belajar kepemimpinan, lebih menghargai waktu, serta memiliki banyak jaringan
Acara Outdoor diadakan di villa bowo Sawangan Depok yang menyajikan sejumlah materi mengenai Publich Speaking, melek media, dan simulasi sidang. Kak Hilda yang merupakan senior IRMAFA menyampaikan materi mengenai Publich Speaking dan Leader Ship, menurut Kak Hilda Public Speaking meliputi Talking dan Speking, dijabarkan pula Talking seperti ngomong biasa, dibawah sadar, Tidak peduli dengan penampilan, bahasanya bebas dan Non Formal. Sedangkan Speaking adalah cara berbicara yang tertata yang menyampaikannya dengan sadar, menyangkut Visi dan Misi, banyak aturan, taat penampilan dan Formal Kak Hilda juga menjelaskan seorang Speaker tidak hanya harus memiliki penguasaan mimik dan nada, namun juga harus memiliki gesture yang baik seperti gerak-gerak kecil yang dimainkan oleh kedua tangan yang menciptakan simbol dan memiliki arti menurut Albert Mehrabian public speaking meliputi 3 v yaitu Visual (55%), Voice (38%) meliputi Full(3/4standard(1/4), Serta Verbal (7%)
Kak Syaifullah Abu Bakar sebagai senior IRMAFA menyampaikan materi Melek Media atau Literasi Media yang membahas kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dari isi pesan media yang mana masyarakat kebanyakan terbilang “Masa Bodo” dengan pemilihan media. Kak Syaifullah juga menerangkan bahwa Agama Islam menyarankan untuk melek media yang tertuang dalam Q.S. Al-Alaq :1 dan Q.S.Al-Hujurat:6. Disampaikan pula pesan-pesan moral seperti Orang yang menguasai media informasi maka dialah yang akan menguasai dunia, kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir, dan kebohongan yang dilakukan secara berulang-ulang akan dipandang menjadi sebuah kebenaran

Mila, salah satu peserta Remata Sakir mengungkapkan bahwa IRMAFA merupakan Organisasi yang hangat akan konsep kekeluargaan dan mengajarkan untuk menghargai orang lain, “Saya menemukan keluarga baru diIRMAFA bisa mengambil hal-hal baru dari orang-orang yang baru pula bisa memperbanyak teman dan memanfaatkan waktu dengan baik” ujarnya.

Rabu, 19 April 2017

Artikel - R. A. Kartini

R.A. KARTINI
Oleh: Dept. Keilmuan
Kartini atau seorang yang bernama asli Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini lahir di JeparaJawa Tengah21 April 1879. Dia adalah seorang tokoh jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia juga sebagai salah satu sosok wanita yang menjadi pelopor untuk kebangkitan wanita pribumi. Dia adalah sosok wanita yang wajib dijadikan inspirasi hidup bagi warga Indonesia khususnya bagi para kaum wanita. Perjuangannya untuk memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia patut di apresiasi.
Biografi
Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan, oleh sebab itu ia memperoleh gelar R.A (Raden Ajeng) di depan namanya, gelar itu sendiri (Raden Ajeng) dipergunakan oleh Kartini sebelum ia menikah, jika sudah menikah maka gelar kebangsawanan yang dipergunakan adalah R.A (Raden Ayu) menurut tradisi Jawa. Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai Bupati Jepara yang diangkat saat berusia 25 tahun dan dikenal sebagai salah satu bupati pertama yang memberikan pendidikan barat kepada anak-anaknya.
R.M. Adipati Ario Sosroningrat juga pernah menjabat sebagai bupati Jepara setelah Kartini dilahirkan. Dari ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Tidak hanya itu, ayahnya dikatakan masih memiliki garis keturunan dari Kerajaan Majapahit hal ini diperkuat dengan pernyataan 'Pada abad ke-18 Pangeran Dangirin menjadi bupati di Surabaya sehingga nenek moyang R.M. Adipati Ario Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja.
Berbeda dengan ayahnya, ibu dari Kartini bukan keturunan dari bangsawan melainkan hanya rakyat biasa. Nama beliau adalah M.A. Ngasirah merupakan anak dari Kyai Haji Madirono dengan Nyai Haji Siti Aminah, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Raden Ayu Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari semua saudara kandungnya, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakaknya yang bernama Sosrokartono, seorang yang pintar dalam bidang sastra atau bahasa.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Pemikiran Mengenai Emansipasi Wanita
Banyak yang menyebut Kartini sebagai tokoh gerakan emansipasi perempuan. Pemikiran dalam bukunya berjudul Door Duisternis Tot Lieht atau Habis Gelap Terbitlah Terang menggambarkan keinginannya memperjuangkan kaum perempuan Jawa saat itu agar mendapatkan pendidikan layak. Pemikiran Kartini sebagian besar dipengaruhi realitas sosial di sekelilingnya dan interaksi gagasan dengan rekan-rekannya di Belanda. Tapi, sifat progresif yang diwarisi dari ayahnya, Sosroningrat, bahwa pendidikan sebagai instrumen penting kemajuan bangsa dan ilmu pengetahuan sebagai pintu kebahagiaan individu dan masyarakat, telah membekas mendalam pada dirinya.
Kalau kita teliti, jejak perjuangan Kartini adalah perjuangan agar perempuan Indonesia bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Bukan perjuangan untuk emansipasi di segala bidang. Kartini menyadari, perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan. Agar dapat menjalankan perannya dengan baik, perempuan harus mendapat pendidikan yang baik pula. Dalam sebuah suratnya, kepada Prof. Anton dan istrinya pada 4 Oktober 1902 Kartini menulis, ”Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
Kartini berharap, manusia bumiputra yang diinginkan dalam proses pendidikan menjadi individu yang memiliki kecerdasan akal dan keluhuran budi pekerti. Dalam bahasa konstitusi kita yang tertulis di Pasal 31 ayat 3 UUD Negara RI tahun 1945 dinyatakan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang." Ini berarti, pemikiran pendidikan Kartini telah melampaui zamannya. Dalam usia 12 tahun, Kartini muda sudah mampu memformulasikan gagasan pendidikan secara filosofis dan sosiologis.
Dalam tulisannya yang berjudul ‘Berilah Orang Jawa Pendidikan!’ pada 3 Januari 1903, dia menegaskanpendidikan yang tak hanya mengutamakan kecerdasan otak, melainkan juga memperhatikan akhlak.  Pendidikan di sekolah harus dibarengi dengan pendidikan dalam keluarga. Kata Kartini, “Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi juga keluarga di rumah harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu harus berasal.” (Kartini dalam Berilah Orang Jawa Pendidikan tertanggal Januari 1903). Untuk para guru di sekolah, Kartini mengharapkan guru tak mengajar semata, tapi juga harus menjadi pendidik. Dalam notanya berjudul Berilah Orang Jawa Pendidikan!, Kartini dengan tegas berkata, “... Guru-guru memiliki tugas rangkap: menjadi guru dan pendidik! Mereka harus melaksanakan pendidikan rangkap itu, yaitu: pendidikan pikiran dan budi pekerti”.
Perhatian Kartini soal pendidikan di sekolah berjalan beriringan dengan perhatiannya terhadap pendidikan dalam keluarga. Pada titik ini, Kartini menginginkan agar kaum perempuan memiliki kemampuan prima dalam mendidik anak-anaknya. Bagi Kartini, mendidik perempuan merupakan kunci peradaban. Perempuan yang menjadi ibu memiliki peran besar dalam pendidikan anak-anak. Menurut Kartini, pemerintah berkewajiban meningkatkan kesadaran budi perempuan, mendidik perempuan, memberi pelajaran perempuan, dan menjadikan perempuan sebagai ibu dan pendidik yang cakap dan cerdas. Pemikiran ini memadukan aspek kognitif dan afektif atau dalam bahasa Kartini, kecerdasan akal, budi, dan jiwa. Pemikiran Kartini ternyata menembus batas geografis dan gender sekalipun. Oleh karenanya, layak jika ia pun harus didaulat sebagai tokoh pendidikan bangsa.